Jumat, 12 Agustus 2016

Malam,
aku baru saja kembali dari menjenguk hatinya
masih sama,
tak ada ruang tersisa
belum ada tempat untukku

aku bersabar lagi, malam?
berapa lama lagi kau menetap?
menyaksikan tingkah bodohku kala meratap?

aku ingin melewatimu tidak sendiri
tidak menyepi
tidak merasa mau bunuh diri

aku ingin melewatimu bersamanya
ia yang barusan hatinya kujenguk
ia yang tak ada ruang tersisa di hatinya
ia yang tidak mengenal aku siapa
ia yang tak tahu aku bagaimana merawat luka
ia yang tak tahu bagaimana aku menghimpun makna cinta

sampai kapan malam?
aku ingin melewatimu bersamanya
duduk berdampingan di sebingkai jendela
menatap hadiahmu berupa purnama
di tempat sama dengan sejuta asa yang sama
aku dan dia
hanya berdua
aku dan dia
hey, jangan bertanya apa salahmu padaku.
tak kah kau lihat seperti apa aku terakhir kau melihatku?
terakhir kali aku ada di depan matamu?
tak cukupkah itu meyakinimu bahwa aku terluka begitu dalam?
belum cukupkah?
T_T

Rabb, aku tahu, ini bagian ujian dalam hidupku yg harus aku lalui agar aku naik kelas kan?
naik ke level yg kian dekat padaMu. begitukan Rabb?
Jika benar, kuatkan hamba Rabb :)
Kejar duniamu... Untuk akhiratmu...

Kejar duniamu... Untuk akhiratmu...Dan bila mengejar dunia, sudah langsung dengan cara-caranya Allah, maka itu sudah terhitung ibadah, baik dia berhasil, maupun dia tidak berhasilnya.

Selama mengejar dunia, jangan lupa akan kewajiban-kewajiban yang Allah seru, dan larangan-larangan yang Allah larang. Sehingga kita disebut tidak lalai dengan dunia, dan tidak disebut lupa akhirat.

Setelah dapat dunia, jangan lupa bagian Allah, dan bagian mereka-mereka yang Allah menyuruh kita memperhatikannya. Selamat mengejar duniamu... Untuk akhiratmu...


Salam hormat, @yusuf_mansur.
kuhimpun waktu yang berserak..
mengumpulkan kembali masa yang telah lama pergi.
kuundang kembali untuk datang.
kupeluk seerat bulan menggenggam malam.
tak lagi kubiar pergi
tak lagi kulepas
tak lagi kuhempas
Sedikit Riwayat (1)

10 dzulhijjah atau pas hari 'ied, saya naik motor sama istri ke makam saya punya mertua dan adik ipar. Sebagai anak, ga ada salahnya ngejagain makam orang tua. Ini ga ada urusannya sama bid'ah. Ini sunnah ziarah kubur. Lagian sambil ngebersihin kuburan orang tua.

Alhamdulillah, sababiyah dikasih ujan sama Allah, jalanannya buecek. Naek motor ampe ngesot-ngesot. Saya demen kalo udah mau hampir jatoh. Jadi inget dulu. Duluuuu waktu Ketapang masih beloman diaspal. He he, dulunya kayak udah luama sekali ya? Duluuuuu. Tapi ya iya sih. Saya udah ga muda lagi. Udah 33 taon umurnya. Nikah umur 23 taon. Masuk ke Ketapang, Tangerang dari umuran 14-15 taon. Nikah taon 1999.

Begitu masuk ke pemakaman, saya sempet berbisik sama istri sambil megang tangannya; Kita bersyukur banget ya. Dulu ke makam, jalan kaki. Sekarang bisa naik motor. Dan naik motor bukan karena ga ada mobil. Sebab mobil kagak masuk ke areal pekuburan. Subhaanallaah... Perjalanan hidup. Kayaknya baru kemaren nyiap-nyiapin mie bulet ama mie telor buat dagang mie ayam pake gerobak. Sekarang udah di ujung 2009 dengan keadaan berbeda. Sambil minta doa dari istri supaya bisa makin hari makin tawadhu'. Makin diuji sama dunia, makin banyak pengasihnya sama orang. Makin dimuliakan Allah, makin takut telat shalatnya, dan makin sayang kalo ninggalin sunnah.

Penjaga kubur menyapa; "Kemaren kebobolan ya? Kemana aja itu RW? Depan mata sekali, pada ga tau...". Kami menjawab dengan senyuman aja. Sesungguhnya apa yg hilang? Kalo asal sebenernya itu engga ada. Semua dari Allah. Jadi ya terserah Allah saja.

Sampe makam persis, mulailah kami mendoakan. Ga jauh, ada Pak Mamat. Tetangga kampung. Dia dan istrinya juga sedang ngebersihin makam.

Ga lama, pas habis do’a-do’a, pamitan sama Pak Mamat yang masih belom rapih ngerapihin makam.

"Dulu, almarhum mertua ente itu temen saya. Temen ngojek... Temen akrab banget... Kalo pas ada yang nurunin kelapa, kita sama-sama berenti dulu ngojek, bantuin nurunin kelapa..." (bersambung).

Sedikit Riwayat (2)

Pak Mamat melanjutkan, "Alhmarhum mertua biar miskin agamanya kuat banget. Jarang kelihatan ninggal shalat...".

Ya, saya sudah dengar dari istri saya, bagaimana dia cerita tentang kebiasaan-kebiasaan almarhum mertua semasa hidup. Ihyaa-us Sunnah, benar-benar ada di beliau kayaknya. Amalan-amalan sunnah hidup. Memang mertua tidak menikmati secara dunia apa yg dilakukannya di dunia. Namun anak keturunannya, dan insya Allah saya sebagai mantunya, juga mendapat berkah. Saya menikahi anak yatim, dan istri saya ada adiknya yang jelas juga yatim. Berkah sekali.

Istri saya cerita, biar kata ngojek, beliau ga mau narik menjelang zuhur. Padahal zuhur itulah lagi rame-ramenya juga tarikan. Tapi beliau pulang. Untuk mandi, dan persiapan shalat di mushalla sambil makan di rumah. Bagian yang ini istri saya komentar: "Seri dah. Ngirit. Ngojek juga kalo makan di luar kan keluar duit juga." Betul juga.

Ini ya. Kebiasaan mandi jelang shalat, duh, saya sendiri jarang bebersih jelang shalat. Jarang tuker pakaian. Apa yang dipakai saat itu, ya itu yang dipakai untuk menghadap Allah. Masya Allah.

Dari istri saya juga, katanya mertua punya amalan-amalan sebelom tidur. Bangun selalu sebelom shubuh. Buat tahajjud dll amalan di waktu sahur. Istri saya selalu dibangunin sebelom shubuh juga. "Kita udah miskin (di dunia), masa mau miskin di akhirat juga. Ayo bangun tahajjud...".

"Puasanya juga rajin..."

Insya Allah saya percaya banyak orang-orang tua juga yang begini. Makanya bener, berkahnya kemudian mengalir ke anak keturunan dan keluarganya. Dan sering banget juga Allah berbaik hati memberikan Cahaya-Nya buat amal-amal yang dilakukan hamba-Nya ketika di dunia. Hingga kemudian ketika hamba-Nya ini masih hidup pun, Allah sudah naikkan derajat dan ubah hidupnya. Cuma emang rahasia umur, rahasia Allah.

Ketika saya menikahi istri saya, alhamdulillah saya menemukan kesederhanaan keluarga ini. Jika pun kehidupan kami berubah secara materi, mudah-mudahan tetep menampakkan kesederhanaan yang sama. Susah dimengerti memang, yah mudah-mudahan ini adalah Karunia Allah. Bukan "bala" bukan "musibah" dalam bentuk kecukupan. Loh??? Iya, ada juga bala dan musibah berupa kekayaan, kecukupan, kelimpahan rizki, kebagusan pangkat dan kedudukan. Di mana kemudian makin diberi makin kacau kehidupan si penerimanya. Akhirnya jatuhnya lebih sakit lagi.

Penghujung 1999 saya menikahi istri saya. Kamar pengantin, adalah peninggalan mertua. Ya, kamar pengantin adalah kamar di mana istri saya sebagai anaknya, dikelonin hampir saban malam.

He he, istri saya waktu saya nikahi, masih tergolong masih belia. Masih baru 14 tahun. Kelas 3 SMP saat itu. Banyak kenangan beliau sama almarhum ayahnya. Rupanya kedekatan istri saya dan ayahnya itu juga yang kemudian menjadi warisan buat saya. Saya sebagai pengantin baru menempati kamar tersebut. Ranjangnya, ranjang beliau. Kasurnya juga. Kami ga sanggup beli yang baru dulu. Dan lantai kamar kami, masih tanah. Tanpa peluran. Apalagi keramik. Tanpa itu semua. Tanahnya pun bukan tanah rata. Tapi bergelenjur. Bergunduk-bergunduk kecil ga rata.

Dari luasan kamar yang kecil itu, sekotak dialasi dengan karpet plastik rombeng. Buat alas sajadah tipis. Subhaanallaah. Ya, saya mengingat, bukan hanya kasurnya yang tuipis buanget-buanget. Sajadah kami pun sajadah yang tipis. Tapi sungguh, kadang kami merasa air mata ketika di atas sajadah lebih enak jatuhnya saat itu.

Kamar yang nyaris tanpa lemari itu, diwarisi juga oleh kami tolet (lemari rias) zaman dulu banget. Lemari rias tahun 80-an awal. He he he, kata istri saya, itu malah dikasih sama engkong. Sama bapaknya bapak. "Bahkan rumah ini, kalo ga dibikinin engkong, ga ada kali," kata istri saya.

Jamaah semua. Namanya juga riwayat ya. Mudah-mudahan ada inspirasi. Hidup itu sunnahnya adalah perubahan. Mudah-mudahan Allah tidak menguji kita dengan perubahan keadaan yang tidak sanggup kita semua mengikutinya. Dari miskin ke kaya, kalau engga sanggup mengikutinya, malahan bahaya buat kita. Lebih bahaya ketimbang hidup tetap miskin. Maksudnya, bisa lari dan jauh dari Allah.

Sekedar mengenang keberkahan mertua juga, saya kadang sama istri tertawa. Ini ranjang, ranjang berderit. Mau tau tentang ranjang berderit? Tar aja terusin lagi ya... (Bersambung).

 Sedikit Riwayat (3)

Kisah masa lalu terkadang asyik diikuti, dikenang, dan diperdengarkan. Sebagai 'ibrah. Sebagai pelajaran. Ketika pahit itu kenangan, kadang kita mengingatnya sudah dalam keadaan itu kenangan belaka. Ga lebih. Benarlah ungkapan arif kalau sudah begitu: Waktu akan menyembuhkan luka. Dan ketika kenangan manis yang terlintas, sedang kita barangkali dalam keadaan terluka, moga-moga bisa jadi penghibur duka pelipur lara.

Kemaren sampe mana ya? He he he, sampe RANJANG BERDERIT ya?

Itu ranjang pengantin. Tapi ini ga ada kaitannya dengan film horor ya, he he. Ini ranjang pengantin kami.

11 Desember 1999 atau bertepatan dengan 3 Ramadhan, kami melangsungkan akad nikah. Kami berangkat ke Bogor. Ke guru saya. Minta dipersaksikan oleh beliau. Yang menikahkan adalah wali dari Maemunah, istri saya. Saya dipertemukan dan diperkenalkan oleh Allah dalam keadaan istri saya baru beberapa pekan menjadi yatim. Maemunah, 14 tahun saat itu, dan sedang duduk di bangku SMP kelas 3.

Pulang dari Bogor sudah jam 23 lebih. Hampir jam 24 malah.

Setibanya di rumah mertua perempuan (udah jadi mertua, he he he), mertua perempuan langsung masuk kamar. Saat itu saya bingung. Mau kemana ya? He he. Bingung, apa pura-pura bingung? Engga, bingung beneran koq. Saat itu saya duduk di depan ruang tv yang ga bisa disebut ruang tv pada kebanyakannya. Tapi subhaanallaah walhamdulillah. Keadaan itu jauh jauh lebih saya syukuri ketimbang saya di sel dulu.

Mertua perempuan masuk kamar. Maemunah, yang saat itu sudah jadi istri saya, juga masuk kamar. Lah? Tinggal saya sendirian di ruang tamu.

Lagi mikirin "nasib", he he, tiba-tiba Maemunah keluar dari kamarnya bawa bantal. Ya, bawa bantal. Saya tanya, "Mau kemana De?" "Mau tidur," jawab Maemunah. Tidur di mana? Tanya saya. Tidur sama emak, jawabnya lagi. Ha ha, saya spontan jawab, koq tidur sama emak? Tidur sama Kaka lah. Kan udah jadi istri Kaka.

Asli. Saat itu saya lihat mukanya Maemunah kayak kebingungan. Jangan samain anak perempuan sekarang dengan beliau ya. Anak sekarang mah umur 10 tahun udah gede banget. Gede kelakuannya, he he he. Anak-anak belasan tahun sekarang sudah nenteng-nenteng majalah kosmo dan majalah-majalah gaul lainnya. Lebih cepat dewasanya. Maemunah mah beda. Beliau anak perempuan kampung yang asli sederhana. Sampe sekarang beliau ga berubah.

Didikan ayah ibunya, jam 3-an udah bangun. Shalat tahajjud, zikir-zikir sebentar, dan kemudian menanak nasi, memasak air, dan memulai kerjaan bersih-bersih. Wuah kayak di film-film zaman dulu deh.

Maemunah yang ga suka nonton TV, dari dulunya sampe sekarang, jelas seumurannya ya masih belia sekali. Ditambah dulu itu sinetron ga kayak sekarang. Maka ketika saya todong: Koq tidur sama emak? Ya sama Kaka lah... He he, wajahnya kebingungan. (Bersambung) # eeeiiittt...!!! Koq bersambung lagi? Cerita Ranjang Berderit belom diceritain? Iya. Ntar sekalian. Bersambung dulu ya...

 Sedikit Riwayat (4)

Habis dijawab tidur sama saya, istri yang kebingungan, tetep sami'naa wa atho'na. He he, saya geli kalo inget ini. Saya pun aslinya kebingungan. Saya masuk ke kamar yang asing buat saya. Diikuti sama istri saya. Sambil bawa bantal di tangannya, he he he. Diikuti istri saya, sebab saya yang duluan masuk.

Kamar dengan lampu 10 watt itu tidak berlantai keramik. Lantainya tanah. Saya lupa apakah saat itu, 1999, Tangerang masih Jabar atau sudah Banten. Dua-duanya, wajar. Wajar apa? Ya, jika Tangerang masuk Jabar, maka Tangerang adalah dulu termasuk ujungnya Jabar. Wajar saja geliat pertumbuhan ekonomi tidak terlalu cantik dilihat. Kalo pun udah masuk Banten, mestilah dulu juga wajar belom kepikiran sebab masih di awal-awal.

Saya mengingat, Kampung Ketapang baru pada punya TV itu tahun 2000. Tahun 1999 hanya 1-2 yang punya. Subhaanallaah kan? Dan mestinya malah alhamdulillah. Adem. Adem ga ada tv, he he he. Ga ketergantungan dengan tv seperti sekarang.

Dulu, di Kampung Ketapang dingin. Tidur malem itu kalo ga pake baju, kedinginan. Itu juga mesti pake kaos kaki. Pohon di mana-mana. Rindang. Kebun-kebun, sawah, masih belom diganti dengan perumahan-perumahan baru nan angkuh, dan kontrakan-kontrakan yang ga berstuktur bangunan dan perwajahannya.

Kalo udah maghrib dateng, senyap sekali. Alhamdulillah ini di tanah Betawi. Banyak anak-anak mengaji, dan suaranya dominan. Hiburan terheboh buat warga kampung saat itu adalah layar tancep. Itu juga buat yang punya duit.

Saya ada di dalam kamar. Dan kamar itu bukan kamar saya. Itu kamar istri saya, peninggalan almarhum ayahnya. Udah gitu, sekarang saya udah jadi suami! Woooyyyy.... Saya udah jadi suami. Gemeteran. Asli. Ga tahu musti ngapain.

Istri saya itu diceritakan oleh ibunya, dan oleh nenek-neneknya adalah termasuk anak perempuan kampung yang selalu menjaga pandangannya. Tangannya pun tidak pernah menyentuh dan disentuh laki-laki yang bukan muhrim. Selain tentu saja suasana gadis kampung beda dengan gadis-gadis sekarang. Sekarang bisa jadi udah ga ada batasan kampung lagi. Relatif sudah maju, dan malah sudah terpengaruh dengan tv. Dan tentu saja, karena faktor usianya Maemunah. Baru 14th. Baru kelas 3 SMP.

Maemunah cerita ke saya, kalo beliau itu baru tahu wajah saya setelah 6(enam) bulan menikah. Beliau cerita, beliau ga pernah berani mandang wajah saya.

Jangan nanya tentang "malam pertama" ya... He he, puanjang perjalanannya. Beda lah dengan anak-anak sekarang. Malam pertamanya langsung jadi. Bahkan ada yang malam pertamanya jauh sebelom akad! Astaghfirullah. Tapi ya itulah kenyataan.

Sungguh saya saat itu saya mau mengadu, bertanya. Tapi ga tahu musti nanya siapa.

Apa pertanyaan yang mau ditanya? Sampe-sampe koq ga tahu musti nanya siapa?

Ya, sebab malu nanyanya. Pertanyaan seputar gimana caranya "ibadah" dengan istri. Ga paham dari mana mulainya. Duh.

Saya tidur bersama dengan doa. Doa agar rumah tangga kami menjadi rumah tangga yang aman dari kejaran hutang dan permasalahan.

Loh? Koq to the point gitu?

Masya Allah. Kalo saya mengenang, saya itu masuk ke gerbang pernikahan dengan deg-degan. Belom saatnya saya berumah tangga. Dan itu lebih disebabkan bukan karena umur Maemunah. Tapi lebih pada diri saya masih banyak masalah hutang dan persoalan-persoalan hidup yang pelik buat saya. Nyangkut urusan perdata dan pidana.

Tapi saya kasih tahu istri saya dan mertua, bahwa insya Allah dengan ibadah dan doa, semua insya Allah bisa dilewati. (bersambung)Sedikit Riyawat (5)

"Sayur Oyong Bening sama sambel"

Ranjang berderit. Ini ditanyakan bahkan oleh adik saya. He he, ranjang berderit ini ya ranjang berderit. Barangkali karena tempat tidur tua kali ya. Masya Allah, baru naikin kaki satu saja, atau naro badan dikit, ini ranjang udah bunyi: ngeeeekkkk... Ngiiiikkk... Besi tua. Zaman Engkong Nadi, babehnya mertua saya, dua-duanya udah almarhum, ini ranjang udah ada. Kebayang kan tuanya.

Tapi tetap saya syukuri. Di ranjang inilah tidur "huurun 'iin", permata saya. Istri saya. Maemunah. Yang kejaga pandangannya, kejaga matanya. Kejaga juga tangan dan kakinya.

Subhaanallaah deh. Istri saya ini memang subhaanallaah... Kayak negeri dongeng. Dia ga pernah megang dan dipegang laki-laki. Karena mungkin umurnya. Saat itu, baru 14th. Tapi memang sih, 14th nya anak sekarang seperti saya bilang tempo hari, ya beda banget. Sebagai anak kampung, Maemunah kejaga. Sama seperti anak-anak yang lain. Beruntunglah Ketapang. Sebagai kampung kecil di pinggiran mentok Jawa Barat saat sebelom jadi Banten, merupakan perbatasan dengan Jakarta Barat. TV baru ada di sono tahun-tahun 1999. Lumayan selamat dari pengaruh tv saat itu. Hanya satu dua orang kaya, kalo ga juragan telor, juragan ayam, ya pak haji yang pergi haji pake jual tanah lalu besisa uangnya. Selebihnya, masyarakatnya masyarakat petani dan pekebun. Kalaulah mereka ada duit, mereka pasti sudah akan memilih ditabung buat makan anak-anaknya, atau ditabung buat beli pupuk dan obat-obatan besawah dan beladang. Sekarang perubahan nih kampung kelewat cepet. Perumahan meringsek, seiring dengan jadi propinsinya Banten. Tangerang menggeliat. Ada sisi negatifnya. Embun pagi udah ga ada. Kabut di sore hari, juga udah ga ada. Dulu, suara kodok, suara jengkerik, murah didengar. Sekarang? Wuah, langka banget. Tokek juga jarang. Dulu nih ya, uler aja keluar masuk rumah, biasa. Kita-kita lagi nongkrong nih depan rumah, di atas bale, di bawah pohon mangga, 3 ular pernah lewat begitu saja depan kami-kami. Menghentikan sejenak obrolan kami. Tentu saja tanpa permisi, he he he. Yang namanya kodok masuk rumah, jangan ditanya dah.

Ihhh, ceritanya kayak di manaaa gitu ya. Tapi percaya atau tidak, sebagian Jakarta saja, 1995-1999 masih kayak gitu deh. Yakin. Sekarang mah kontrakan di mana-mana berdiri. Indomaret, Alfamart, bahkan Giant dan Carefor udah masuk kampung.

Istri saya, dibesarkan di kultur betawi yang pagi siang malam, mengaji. Sebagai gambaran nih ya, istri saya pendiam. Asli pendiam. Surabaya-Banyuwangi, yang pake bus bisa 8 jam, yakin, huruf a juga ga keluar dari mulutnya. Dia bilang, dia ga bisa ngomong. Bukan ga suka ngomong. Kawan-kawannya bilang, kalo ngerumpi, ga bisa ngajak si Nunun (panggilan kawan-kawannya istri ke istri saya). Ga seru. Ga pernah nimpalin.

Wah, koq jadi muji-muji istri ya? Ga apa-apa deh. Emang layak dipuji. Masaknya juga jago. Bikin sambelnya mantab.

Istri saya ini juga wasilah saya semangat nyari rizki. Yah, para istri sangat berperan memberi semangat mencari rizki.

Sebelom nikah, saya pernah silaturahim ke rumah istri. Sekitaran Agustus 1999. Waktu itu saya pulang ngajar di salah satu madrasah di Ketapang. Maenlah saya ke rumahnya beliau. Oleh camer, calon mertua, he he, saya ditawarin makan. "Nun, ajak kakanya makan gi dah. Punya apa tuh kita?"

Saya seneng banget. Tapi yang ditanya, gelagapan. Sebab barangkali tahu, ni emak maen nawarin makan aja, ga mikir ga ada apa-apa. Gitu tuh cerita istri di kemudian hari.

Alhamdulillah, ternyata ada menu kesukaan saya. Sayur oyong bening. Bener-bener bening, alias ga ada apa-apanya lagi, ha ha ha. Engga ding. Yah namanya aja udah sayur oyong bening. Ya emang ga ada apa-apa kecuali ya oyongnya. Tapi di sebagian keluarga betawi yang berkecukupan, sayur oyong ini ditambah bakso, udang, tahu, dll. Tapi ya tetap saja alhamdulillah. Saat itu, makanannya saya, 1 indomie buat 8 orang. Ya, saya tinggal di rumahnya Bang Herman. Abang-abangan saya. Dia anaknya 5. Sama saya jadi enam. Plus dia dan istrinya, 8. Karena serba pas-pasan, kadang lauknya itu mie rebus 1 bungkus. Yang penting nyium wanginya. Gitu. Atau kalo malam, beli nasi goreng sebungkus, kemudian dicampur nasi putih buat dimakan ber-8. Jadi, kalo ada sayur oyong, wah itu udah barang langka buat saya. Apalagi ditemanin sama yang saya demenin. Ehmmmm...

Siang itu, saya dapat menu tambahan istimewa. Ada sambelnya! Alhamdulillah, nikmat sekali.

Emang ya jamaah, kalo ukurannya adalah ukuran bawah, maka segala nikmat yang terhidang, niscaya bisa disyukuri.

Ada 1 kejadian, sebelum makan, yang menjadi pemacu saya mencari rizki, dan saya inget sepanjang masa... (bersambung).

 Sedikit Riwayat (7)

Pernah saya tunjukkan kepada istri saya, sebuah riwayat indah pasangan abadi sepanjang masa: Sayyidatinaa Fathimah dan Sayyidinaa 'Ali atau yang biasa dipanggil Imam 'Ali. Seseorang yang pernah saya rindukan wajahnya untuk saya lihat. Dulu saya pernah mengaji di masa sekolah tentang Imam 'Ali. Beliau kata guru saya diriwayatkan tidak pernah melihat kemaluannya, dan karena itu beliau digelari Karromawloohu Wajhah; wajah yang dimuliakan Allah. Tentu lepas dari itu, sebab memang beliau sangat menjaga mata, menjaga pandangannya.

Nah, suatu hari, saya tunjukkan satu riwayat tentang istrinya, yakni Sayyidatinaa Faathimah, rhodiyawloohu 'anhaa. Suatu hari, Fatimah berkata kepada suaminya. Perkataan Fatimah ini membuat saya hampir menangis. "Jika aku mati," begitu kata Fatimah, "Mandikanlah aku dengan tanganmu wahai suamiku. Berikan bidara dan kafani aku, serta kuburkanlah aku di waktu malam. Jangan sampai ada yang memandikan aku kecuali engkau wahai suamiku, dan jangan sampai ada yang menyaksikan penguburanku. Aku tidak menambah wasiatku dan aku titipkan engkau suamiku kepada Allah sampai aku bertemu denganmu kelak... Jama'awloohu bainii wa bainaka fii daarihii wa qurbi jiwaarih, semoga Allah mengumpulkan aku dan engkau suamiku di Rumah-Nya dan di Sisi-Nya.

Dan istri saya pun berkaca-kaca matanya ketika saya katakan lembut kepadanya bahwa saya pun akan memegang wasiat ini kalau beliau menutup mata kelak. Kecuali barangkali soal penguburan yang tidak mungkin zaman sekarang tidak ada yang tidak mengetahuinya.

Pergantian tahun 1430H ke 1431H sudah berlangsung. Dan pergantian 2009 ke 2010 pun sudah akan juga menjelang. Di antara muhasabah semua manusia di muka bumi, selain ia sebagai anak bagi orang tuanya, orang tua bagi anaknya, saudara bagi saudaranya, kawan bagi kawannya, adalah juga ia sebagai suami atau istri pasangannya. Selamat merenungkan apa ada kesalahan kita sebagai manusia kepada orang yang begitu sangat dekat dengan kehidupan kita. Salam buat semua belahan jiwa. -Yusuf Mansur.
Zikir yang bagus setelah Dhuha

Robbighfirlii watub 'alayya. Innaka Antat-tawwaabul-ghofuur.

Yaa Allah, ampunilah saya, dan terima taubat saya. Sesungguhnya Engkau Penerima Taubat lagi Maha Pengampun Yang Ampunan-Nya Begitu Luas. Dibaca 100x, sambil introspeksi diri dan niat memperbaiki diri. Kalo untuk jadi doa buat keluarga (kami), ganti "naa", jadi: Robbighfirlanaa watub 'alayanaa...
kau bertanya aku sedang apa?
apa lagi kalau tidak sedang bercengkrama?
dengan siapa?
dinding-dinding kokoh di sebelah dipanku
tentang apa?
tentang kamu dan apa yang pernah kita namai dengan kenangan
ini malam panjang aku dan mereka
kau tak usah risau
apa lagi terpukau
beranjaklah ke kamar, lelaplah segera.
esok pagi pasti datang
akan tetap sama
aku dan rutinitasku tentang kamu dan kenangan
kamu dengan sejuta impian tentang masa depan

 

Kamis, 04 Agustus 2016

Hei, berapa purnama lagi kau janjikan manis itu?
tak mengapa jika aku mmg hrus bersabar?
tapi bolehkah aku berharap tanpa mendapat kecewa di ujung tungguku?
aku terlalu lama menunggu, mengitung hari demi hari di puncak purnama,
12x setahun.
entahlah, ini yang ke berapa.
aku berhenti menghitungnya
dekat saja kau ku do'a,
Apalagi tak tampak di mata.

dekat saja kau ku damba,
apalagi kau jauh disana.

aku mencintaimu melebihi cintanya bulan dan bintang pada malam

aku mencintaimu
lebih dari cintanya hujan pada bumi,

aku mencintaimu melebihi rerumputan pada tanah

aku mencintaimu lebih dari cintanya riak pada pantai

kini, esok, nanti dan selamanya.
kurengkuh dalam malam ke pangkuan
hening tercipta menambah luka
seirama detak waktu
beradu pilu

luka menganga tertawa
memandang remeh penuh nista
duka cita melara
entah sampai kapan masanya

keremangan tak jua usai
cabik, kusut masai
tiada satu mampu melerai
hanya do'a sebagai perisai

duhai nestapa beranjaklah
penat menggayut di sudut duka
tak jemu hingga subuh tiba
terawang kosong mata menambah luka
sampai bila masanya?
entahlah.

01 agust 2016